MEREBAKNYA kasus flu babi yang sudah merenggut lebih dari 100 orang tewas di Meksiko membuat dunia terkejut. Semua negara seperti diingatkan betapa dahsyatnya kecepatan penyebaran virus yang bisa berpotensi menjadi pandemi yang mematikan itu. Seperti kasus flu burung, sudah sewajarnyalah jika kita juga harus sangat waspada. Apalagi, Indonesia punya pengalaman menjadi salah satu negara dengan korban virus flu burung (H5N1) terbesar.
Virus flu babi ini (H1N1) ini memang bermula dari Meksiko. Secara umum, penyakit itu mirip dengan influenza biasa. Gejala klinisnya, antara lain, demam, batuk, pilek, lesu, letih, nyeri tenggorokan, bernapas cepat (sesak napas), bisa disertai mual, muntah, dan diare. Virus H1N1 biasa ditemukan pada manusia dan hewan, terutama babi. Masa inkubasinya cukup cepat, yakni tiga sampai lima hari.
Hingga kemarin jumlah pasien yang dirawat di Meksiko sudah sekitar 1.600 pasien. Dari sana, penyakit ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan Kanada. Namun, korban penyakit gabungan virus flu babi, burung, dan manusia itu sudah mencapai Australia dan Selandia, dua negara tetangga di selatan Indonesia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) kemarin sedang mempertimbangkan untuk menaikkan kewaspadaan ke tingkat 4. Di tingkat ini, untuk menghindari wabah meluas, WHO bahkan bisa memberikan travel ban kepada negara tertentu.
Apa yang bisa dilakukan masyarakat? Seperti diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, masyarakat memang tidak perlu panik terhadap kemungkinan munculnya penyakit flu babi di Indonesia. Angka kematian akibat flu burung, misalnya, jauh lebih tinggi. Yakni sekitar 80-90 persen ketimbang flu Babi (H1N1) yang 6,4 persen. Namun, apa pun, masyarakat tetap waspada. Terlebih jika virus ini dapat ditularkan melalui manusia ke manusia.
Indonesia memang tidak perlu panik, misalnya, sampai melarang semua warga warga AS dan Meksiko berkunjung ke Indonesia. Tetapi, akan lebih baik jika mendorong kewaspadaan dini kepada seluruh Dinas Kesehatan di Indonesia. Yakni mengoptimalkan pemakaian thermal scanner di bandara dan pelabuhan untuk mengecek warga asing yang masuk untuk mendeteksi kemungkinan membawa virus flu babi.
Selain itu, seperti pengalaman kita saat menangani flu burung, yang tak kalah penting, adalah menyiapkan tempat karantina, rumah-rumah sakit rujukan, dan tim medis jika ada korban flu babi yang ditemukan.
Kita mendukung langkah yang sudah diambil oleh pemerintah dengan tidak mengimpor daging babi dari Mesksiko dan Amerika. Namun, seperti yang sudah dilakukan oleh banyak negara, termasuk negara-negara di bawah Uni Eropa kemarin, pemerintah bisa memberikan imbauan kepada masyarakat untuk (jika tidak ada keperluan sangat mendesak) mengunjungi Meksiko dan Amerika.
Hal-hal kecil lain yang tidak kalah penting adalah mengajari masyarakat untuk menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat. Yakni, menutup hidung dan mulut apabila bersin, mencuci tangan dengan sabun setelah beraktivita, segera memeriksakan kesehatan saat terkena gejala flu. (jawapos)
Virus flu babi ini (H1N1) ini memang bermula dari Meksiko. Secara umum, penyakit itu mirip dengan influenza biasa. Gejala klinisnya, antara lain, demam, batuk, pilek, lesu, letih, nyeri tenggorokan, bernapas cepat (sesak napas), bisa disertai mual, muntah, dan diare. Virus H1N1 biasa ditemukan pada manusia dan hewan, terutama babi. Masa inkubasinya cukup cepat, yakni tiga sampai lima hari.
Hingga kemarin jumlah pasien yang dirawat di Meksiko sudah sekitar 1.600 pasien. Dari sana, penyakit ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan Kanada. Namun, korban penyakit gabungan virus flu babi, burung, dan manusia itu sudah mencapai Australia dan Selandia, dua negara tetangga di selatan Indonesia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) kemarin sedang mempertimbangkan untuk menaikkan kewaspadaan ke tingkat 4. Di tingkat ini, untuk menghindari wabah meluas, WHO bahkan bisa memberikan travel ban kepada negara tertentu.
Apa yang bisa dilakukan masyarakat? Seperti diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, masyarakat memang tidak perlu panik terhadap kemungkinan munculnya penyakit flu babi di Indonesia. Angka kematian akibat flu burung, misalnya, jauh lebih tinggi. Yakni sekitar 80-90 persen ketimbang flu Babi (H1N1) yang 6,4 persen. Namun, apa pun, masyarakat tetap waspada. Terlebih jika virus ini dapat ditularkan melalui manusia ke manusia.
Indonesia memang tidak perlu panik, misalnya, sampai melarang semua warga warga AS dan Meksiko berkunjung ke Indonesia. Tetapi, akan lebih baik jika mendorong kewaspadaan dini kepada seluruh Dinas Kesehatan di Indonesia. Yakni mengoptimalkan pemakaian thermal scanner di bandara dan pelabuhan untuk mengecek warga asing yang masuk untuk mendeteksi kemungkinan membawa virus flu babi.
Selain itu, seperti pengalaman kita saat menangani flu burung, yang tak kalah penting, adalah menyiapkan tempat karantina, rumah-rumah sakit rujukan, dan tim medis jika ada korban flu babi yang ditemukan.
Kita mendukung langkah yang sudah diambil oleh pemerintah dengan tidak mengimpor daging babi dari Mesksiko dan Amerika. Namun, seperti yang sudah dilakukan oleh banyak negara, termasuk negara-negara di bawah Uni Eropa kemarin, pemerintah bisa memberikan imbauan kepada masyarakat untuk (jika tidak ada keperluan sangat mendesak) mengunjungi Meksiko dan Amerika.
Hal-hal kecil lain yang tidak kalah penting adalah mengajari masyarakat untuk menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat. Yakni, menutup hidung dan mulut apabila bersin, mencuci tangan dengan sabun setelah beraktivita, segera memeriksakan kesehatan saat terkena gejala flu. (jawapos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar